oleh : Dr. Suparto Wijoyo
(Ketua Program Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya)
DARAH terus tumpah di bumi Palestina. Air mata senantiasa dialirkan dalam linang yang mencekam dengan arakan demonstran yang setia menempuh jalan panjang.
Jerusalem adalah akar dan rerindangan yang menghadirkan kisah tanpa jeda. Monoteisme yang membangun iman agama-agama samawi dilahirkan. Lambang supremasi kuasa dan panggul penderitaan selalu tertoreh pada rekem jejak peradaban di “tanah harapan”.
Kuil suci dan tembok ratapan maupun Al-Quds “bertahtah megah” berselimutkan “ornamen teologis” yang kilauannya tidak bisa ditandingi oleh hamparan tanah manapun. Mimpi dan imaji dikonstruksi dengan membawa gerbong umat yang diberi suguhan daulat Tuhan yang tersematkan di jazirah Palestina.
Perjuangan adalah kata kunci untuk memperebutkan “sertifikat religius” palih sahih di hadapan-Nya. Kekuatan adikodrati disorong membungkus kesejatian wilayah penuh “keberkahan” ini dengan satu tarikan nafas: semua iman bermula dari titik koordinat Jerusalem.
Khalayak ramai menyimak tentang apa dan siapa sejatinya Jerusalem. Seperti yang dilansir Discovery Channel: Hanya segelintir kota yang telah menjadi tuan rumah bagi banyak agama dan aliran politik sesespesial Jerusalem.
Bagi orang Yahudi, kota ini adalah ibukota tanah air mereka dan lokasi Tembok Barat. Bagi umat Kristiani, the Garden of Gesthsemane and Golgotha are here. Khusus bagi Muslim, it’s a city inextricably tied to the rise of Islam with such holy sites as the Dome of the Rock.
Pesan universalnya amatlah jelas bahwa terhadap tanah “suci lintas agama” ini harus dijaga, bukan malah diusik dengan terus merangsek mengusir warga Palestina.
Kalau para tokoh politik dunia tidak tanggap, persaksikanlah riuhnya gemeretak tulang-tulang mujahid Palestina yang akan menggeliat “dibuncahkan” Tuhan untuk diteruskan anak-anak dalam gelegar intifadah.
Akibat ulah orang tua yang lalim, yang menjabat Presiden USA, Donald Trump, yang menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel, masyarakat beradab menunjukan sikapnya. Demonstrasi dimana-mana yang menuntun saya menaruh perhatian pada novel I Saw Ramallah atau Ra’aitu Ramallah. Novel yang menuang memori penulisnya yang terbit perdana tahun 1997, Mourid Barghouti, seorang penyair Palestina termasyhur.
Dr. Suparto Wijoyo |
Narasi dalam novel itu amatlah padat dan teramat liris mengenai kisahnya sebagai seorang Palestina dari pengasingan. Ramallah yang berada di Tepi Barat menjadi sangat asing, sebagaimana pula Gaza akibat buldoser Yahudi Zionis yang merebut “rumah rakyat”. Penindasan terhadap warga Palestina diukir secara destruktif sejak negara ini diproklamasikan 14 Mei 1948. Potret derita Palestina semakin gamblang dalam sorotan permufakatan konspiratif negara-negara yang mengklaim sebagai pemenang Perang Dunia II.
Buku lama Palestine: Through Documents karya R. Halloum (Abu Firas), 1988 yang saya dapat dari Pemerintah Palestina tahun 1992 telah memberikan informasi yang representatif tentang kisah “kolonialisme” yang menyengsarakan bangsa Palestina. Lembar sejarah Palestina memang hendak ditenggelamkan dan kini “gumpalan tanah air” itu dalam pekik Mourid Barghouti seolah menjadi “gagasan tentang Palestina”. Realitas Palestina diubah menjadi “uantaian kisah-kisah imajiner tentangnya”.
Rekam jejak nestapa Palestina itu sedang menarik sorot mata dunia untuk tertuju menatapnya kembali. Berbagai bencana alam yang menerjang “gagah dengan banjir dan tanah longsor” di negeri ini nyaris tidak terasakan dalam perihnya sembilu, dibandingkan dengan kekelaman masa-masa sulit yang melilit warga Palestina.
Bombardir tentara Israel di Gaza dan Ramallah tempo hari terus saja menyesakkan dada. Bahkan kebakaran hutan yang terjadi di California yang sudah merambah dalam jarak 930 kilometer persegi dengan luas selebar New York dan Boston, tampak kurang mendapatkan kepedulian dari penguasanya.
Presiden USA Donald Trump justru terbidik lebih sibuk urusan Israel daripada derita warga California. Kebakaran hebat yang “memanaskan” California itu telah menuai banyak korban, ternyata belum menjadi fokus kerja Trump, melebihi “kerinduannya” pengibaran “bendera perang” pengibukotaan Jerusalem bagi Israel.
Pengesahan secara sepihak bahwa Jerusalem adalah Ibu Kota Israel merupakan ujaran yang mengandung intimidasi serius. Kekerasan verbalnya adalah menifes terorisme paling brutal. Respon yang muncul dari publik internasional yang melakukan penolakan atas pengibukotaan Jerusalem merupakan bukti bahwa kebijakan USA tersebut amatlkah gegabah. Keputusan yang mengristalkan teror paling nyata bagi bangsa-bangsa beradab. Trump dalam ukuran menjaga ini sedang mengobok-obok perdamaian Jerusalem dan wujud “bapak terorisme” yang sangat nyata.
Apa yang terjadi di wilayah Al-Aqsa di esok hari pasti mengguncang kemanusiaan siapapun yang waras. Peristiwa yang menggelegak dalam suasana perjalanan sejarah panjang selama ribuan tahun (2800 SM-2017 M) merupakan simbol abadi keangkuhan Israel. Negara ini sesungguhnya sedang memamerkan kedunguan yang sangat menggelisahkan umat manusia.
Tragedi yang dihelat di Palestina adalah perlambang bahwa humanisme sedang dipermainkan. Tidak ada alasan yang cukup kuat bagi Israel untuk menggempur Palestina, kecuali orang negara yang sedang “kesetanan”.
Palestina yang bermuatan Jalur Gaza maupun Masjid Al-Aqsa secara geopolitik, haram dianiaya. Doa pembulat perjuangan teruslah dilantunkan agar pada saatnya nanti kita persaksikan bersama sambil berkata: I Saw Palestina. Akhirnya Kulihat Palestina yang Merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar