Walikota Tegal menjadi 'artis KPK' karena penyalahgunaan wewenang. |
Jakarta - Maraknya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Daerah tentu menjadi keprihatinan semua pihak. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu, Prof. Dr. Juanda, SH, MH salah satunya. Ia merasa ada yang salah dalam sistem tata negara di republik ini.
Sistem pemilihan kepala daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota yang langsung dipilih oleh rakyat mengakibatkan para calon kepala daerah menempuh berbagai cara agar dirinya terpilih. Tidaklah mengherankan apabila ada 'harga' yang harus ditebus ketika seseorang ingin menjadi calon kepala daerah dan kemudian terpilih.
Apabila dirunut, mulai dari seleksi calon kepala daerah oleh partai politik maupun calon independen, belumlah bagus sistem penjaringannya. Terlebih apabila penjaringan calon itu dari partai politik. Sistem seleksi cenderung sesuai 'keinginan' dan 'hal tertentu' dari partai politik itu.
Pun demikian ketika lewat jalur independen. Pengumpulan dukungan dari masyarakat cenderung dilakukan dengan berbagai cara, dan masyarakat belum mau dan mampu untuk benar-benar memilih calon pemimpin mereka yang berkualitas dan berintegritas. Dengan sembako atau rupiah tertentu, juga janji-janji mereka tergoda untuk menyerahkan fotocopy KTP maupun mau menandatangani formulir dukungan bagi calon kepala daerah yang melalui jalur independen.
Prof.Dr.Juanda,SH,MH |
Kemudian, ketika mereka terpilih dan menjabat, orientasi untuk mengembalikan modal pencalonan patutlah dialamatkan ke pimpinan itu. Tidaklah mengherankan bila pada akhirnya menjadi artis KPK dan mendekam di hotel prodeo yang tak begitu lama bukan menjadikan mereka gentar ataupun malu atas perilakunya itu.
Menurut Prof. Dr. Juanda, SH, MH, lemahnya pengawasan terhadap kepala daerah itu merupakan salah satu penyebab para artis KPK itu menjadi leluasa dalam menyalahgunakan wewenangnya. Masyarakat kita, lanjut Juanda, masih terkesan kurang peduli dengan pimpinan mereka.
Mengandalkan pengawasan di legislatif, dari kejadian demi kejadian yang ada malahan ada kasus legislatif yang malah berkongsi guna 'menjarah' uang rakyat. Teranyar, bagaimana anggota DPRD Kota Malang secara berjamaah mengorupsi APBD Kota Malang. Kasusnya kini masih ditangani KPK.
Melihat kondisi ini, Prof. Dr. Juanda, SH, MH, berpandangan sistem pemilihan kepala daerah kita sebaiknya ditinjau ulang. Ia menyarankan agar Gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah sebaiknya tidak dipilih langsung oleh rakyat. Lebih lanjut dia mengutarakan, hanya bupati dan walikota saja yang dipilih langsung oleh rakyat. "Sekarang tinggal kemauan semua pihak saja. Bagaimana komitmen kita untuk mewujudkan sistem tata negara yang baik, termasuk sistem pemilihan kepala daerah kita. Bila perlu amandemen konstitusi kita," tutur Prof. Dr. Juanda kepada Majalah Koridor beberapa waktu lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar