SUMENEP GILIGENTING (Wartanasionalraya.com) - Di balik runtuhnya Singasari oleh pengkhianatan Jayakatwang, seorang pria muda bernama Raden Wijaya dipaksa meninggalkan takhta dan tanah leluhurnya. Dalam pelarian yang penuh air mata, ia menemukan satu-satunya harapan di pulau kecil yang jarang disebut orang: Giligenting.
Pulau itu menjadi tempat Raden Wijaya dan para prajuritnya menata kembali harapan. Di gua Kahuripan, ia bersujud, memohon pada semesta untuk memberi jalan. Di Pantai Sembilan, para prajurit Madura bersumpah setia, mengikat diri pada perjuangan yang kelak menyalakan api besar bernama Majapahit.
Namun jalan menuju kejayaan bukanlah hamparan bunga. Raden Wijaya harus menghadapi kelaparan di hutan Tarik, kehilangan sahabat seperjuangan, dan permainan politik penuh tipu daya. Ia bersekutu dengan musuh, mengkhianati sekutu, dan menanggung darah yang tertumpah di medan perang.
Ketika pasukan Mongol datang dari seberang lautan, Nusantara kembali diguncang. Dari pengkhianatan cerdas hingga pertempuran laut yang berdarah, sejarah berpihak pada mereka yang berani mempertaruhkan segalanya. Dari reruntuhan Kediri, dari hutan Tarik yang gersang, dari pulau kecil bernama Giligenting—lahirlah sebuah kerajaan yang akan mengubah wajah Nusantara: Majapahit.
Bertahun-tahun kemudian, bangsawan Majapahit kembali menapaki jejak awal mereka. Giligenting bukan lagi sekadar pulau sunyi, tetapi menjadi tempat ziarah dan peristirahatan, dengan Pantai Sembilan dan gua Kahuripan sebagai ikon abadi perjuangan. Dan hingga kini, desas-desus tetap bergaung: mungkin saja sebagian penduduk Giligenting adalah keturunan prajurit-prajurit tangguh yang pernah menyalakan bara kejayaan Majapahit.
"Giligenting: Sekeping Mutiara dari Majapahit" adalah kisah tentang kehilangan, pengkhianatan, keberanian, dan kebangkitan. Sebuah novel yang menyingkap bagaimana pulau kecil mampu menjadi saksi awal lahirnya kerajaan terbesar di Nusantara. Membaca setiap halamannya, pembaca diajak menyelami sejarah yang berdenyut dengan darah, air mata, dan harapan—hingga akhir tak ingin berhenti.
*Karya: Samsuto, SH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar