Oleh : Ir. Barid Effendi*)
Mengulas permasalahan sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), seakan tidak pernah ada habisnya karena permasalahan mendasar lembaga ini adalah masalah konstitusional yang tidak kunjung diselesaikan dan merupakan refleksi dari suasana kebatinan pada saat pembentukan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999) yang kemudian melahirkan KPPU.
KPPU lahir dalam suasana euphoria reformasi yang sedang memuncak yang digerakkan oleh Mahasiswa tahun 1998. Salah satu pemicunya adalah maraknya budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepostisme (KKN) dikalangan pemerintah bersama para pengusaha yang dikemas dengan kebijakan terutama bidang ekonomi yang jauh dari semangat demokrasi ekonomi sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri negara. Oleh karena itu salah satu tuntutannya adalah terwujudnya demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi. Manifestasi dari tuntutan tersebut antara lain dengan diterbitkannya UU No. 5/1999 yang pengawasan pelaksanaannya dipercayakan kepada KPPU.
Refleksi dari suasana euforia reformasi pada saat penyusun UU No. 5/1999 tersebut tercermin dalam rumusan Pasal 34 UU No. 5/1999 yang mengatur kelembagaan KPPU dan sekretariatnya. Para pembentuk UU No. 5/1999 bersikukuh menghendaki independensi KPPU dapat terjamin tanpa campur tangan pemerintah. Akibatnya konsep pengaturan sekretariat KPPU pun tidak dikehendaki adanya peran dan campur tangan dari Presiden, dan karenanya cukup diatur oleh Komisi.
Implikasi Konsepsi Independen.
Konsepsi independen dari para pembentuk UU No. 5/1999 ini jelas bertentangan dengan konstitusi dan tidak mungkin dapat dilaksanakan karena bertabrakan dengan tatanan UU lainnya. Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH., MH dalam pendapat hukumnya (10 September 2020) mengatakan bahwa ada permasalahan Kelembagaan dan Kepegawaian KPPU yang diatur dalam Pasal 34 UU No. 5/1999 dan Keppres No. 75/1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, sebagaimana diubah dengan Prepres 80 Tahun 2008 (Keppres No. 75/1999).
Dua produk hukum ini oleh Prof. I Gde dikatakan memberikan kewenangan secara atributif kepada Komisi untuk mengatur “susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat” ke dalam bentuk Keputusan Komisi. Mengacu pada pendapat hukum ini tentu mengundang pertanyaaan, “lantas sekretariat KPPU yang sekarang berlangsung itu diatur oleh produk hukum yang mana”? Sampai saat ini belum pernah ada forum evaluasi yang mengkaji untuk memberi jawaban pasti yang dapat menghakimi, sehingga masih tetap multi persepsi. Akan tetapi sangat diyakini kedua produk hukum tersebut belum sejalan dengan konstitusi, karena terbukti belum dapat memberi kepastian hukum terhadap status pegawai KPPU.
Oleh karena itu, lebih lanjut Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH., MH, menyatakan bahwa solusi atas permasalahan ini sekurang-kurangnya dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara, yaitu: Pertama, revisi terbatas terhadap UU No. 5/1999, khususnya ketentuan Pasal 34, atau Kedua, mengajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
Jauh-jauh sebelum terbitnya pendapat hukum tersebut, sebenarnya pada tanggal 14 April 2016 pemerintah pun dalam rapat koordinasi pembahasan masalah kesekretariatan KPPU yang diselenggarakan di Kantor Sekretariat Negara, yang dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian PAN dan RB, Kementerian Hukum dan HAM, Ketua KPPU M. Syarkawi Rauf, telah menyepakati bahwa penyelesaian masalah kesekretariatan KPPU dilakukan dengan langkah-langkah:
1). Melakukan perubahan secara terbatas atas ketentuan Pasal 34 UU No. 5/1999;
2). Mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi atas ketentuan Pasal 34 UU No. 5/1999; atau
3). Meminta fatwa Mahkamah Agung terkait penafsiran ketentuan Pasal 34 UU No. 5/1999.
Tampak jelas dari hasil rapat tersebut bahwa pemerintah juga mengakui adanya permasalahan konstitusional dalam Pasal 34 UU No. 5/1999 yang menyebabkan Presiden tidak dapat mengatur sekretariat KPPU sejak awal berdiri sampai saat ini. Oleh karenanya pemerintah cq. Kemen PAN dan RB selalu meminta untuk dilakukan revisi terlebih dahulu UU No. 5/1999. Dan faktanya, berbagai rapat koordinasi antara KPPU dengan pemerintah dan janji solusi sejak Presiden Susilo Bambang Yudoyono sampai dengan Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan permasalahan kesekretariatan KPPU selalu menemui jalan buntu.
Tindak Lanjut Hasil Rapat
Menindaklanjuti hasil rapat di Kantor Sekretariat Negara tersebut, Menteri PAN dan RB mengajukan permohonan pendapat hukum kepada Mahkamah Agung terkait penafsiran Pasal 34 UU No. 5/1999. Pendapat hukum atas penafsiran Pasal 34 UU No. 5/1999 tersebut dituangkan dalam Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial No. 20/Wk.MA.Y/VIII/2017 tanggal 31 Agustus 2017 yang ditujukan kepada Menteri PAN dan RB, dengan tembusan kepada: (i) YM. Ketua Mahkamah Agung (sebagai laporan); (ii) YM. Ketua Kamar Tata Usaha Negara MA RI; (iii) Yth. Menteri Sekretaris Negara RI; (iv) Yth. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI; dan (v) Yth. Ketua KPPU RI.
Pendapat hukum atas penafsiran Pasal 34 UU No. 5/1999 oleh Mahkamah Agung tersebut hanya secara normatif menegaskan, antara lain bahwa:
a. Sebagai kekuasaan independen yang berada diluar kekuasaan eksekutif, KPPU dilarang campur tangan dalam urusan pembinaan Aparatur Sipil Negara yang meliputi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
b. Keputusan KPPU haruslah secara limitatif hanya mengatur hal-hal yang sudah didelegasikan (mengatur “susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat”), sedangkan hal-hal yang terkait dengan pengisian Sumber Daya Manusia dan aspek pembinaannya harus tunduk dengan UU ASN.
c. Keputusan KPPU tidak berwenang untuk mengatur hal-hal yang sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang telah ada dan berlaku.
Pendapat Hukum Mahkamah Agung tersebut, ternyata berbeda dengan pemahaman KPPU dan sekretariat yang sudah melekat sejak awal bahwa karena pegawai KPPU belum berstatus sebagai ASN maka pembinaannya tidak mengikuti UU ASN, melainkan masih menjadi wewenang Komisi.
Respons Atas Pendapat hukum Mahkamah Agung
Bagi KPPU, terbitnya pendapat hukum Mahkamah Agung ini memang kurang mendapat atensi karena selain berbeda pemahamannya, posisinya pun hanya tembusan dan apalagi isinya juga tidak memberikan solusi. Oleh karena itu pada saat diterimanya pendapat hukum tersebut, di saat KPPU sedang sibuk bersama DPR merevisi UU No. 5/1999, KPPU dan sekretariat tidak mengkaji isi dan konsekuensinya.
KPPU tetap bersikukuh melaksanakan tata kelola organisasi dan kepegawaian sekretariat KPPU yang berlandaskan pada Keppres No. 75/1999, dengan keyakinan makna bahwa Pasal 34 ayat (4) UU No. 5/1999 memang memberikan kewenangan kepada Komisi untuk mengatur sekretariat KPPU secara menyeluruh, bukan limitatif sebagaimana penafsiran oleh Mahkamah Agung dan bahkan ada keyakinan bahwa Pasal 34 ayat (4) UU No. 5/1999 ini memang merupakan kekhususan bagi KPPU sebagai lembaga independen. Pemahaman yang berseberangan dengan Mahkamah Agung ini pun tetap berlangsung sampai saat ini sehingga tetap berkeyakinan bahwa Presiden dapat menyelesaikan permasalahan sekretariat KPPU tanpa harus mengikuti hasil rapat koordinasi tersebut.
Fatwa dalam bentuk Pendapat Hukum oleh Mahkamah Agung ini, wajar jika ternyata tidak berdengung, karena pihak yang mengajukan yakni Menteri PAN dan RB saja sampai saat ini tidak merespons dan menindaklanjuti isi dan esensinya untuk menyelesaikan masalah sekretariat KPPU. Menteri yang menerima tembusan pun sampai detik ini tidak ada aksi sama sekali sebagai wujud peduli. Dan mungkin, dokumennya pun sudah tersimpan rapi di laci dan tertumpuk dengan dokumen lain yang lebih membutuhkan atensi.
Lantas apa makna permohonan penafsiran Pasal 34 UU No. 5/1999 oleh Menteri PAN dan RB, dan apa pula urgensi dan relevansinya atas jawaban Mahkamah Agung kepada Menteri PAN dan RB tersebut, serta tembusan yang disampaikan kepada Menteri Hukum dan Ham, dan Menteri Sekretaris Negara tersebut dalam kaitannya untuk menyelesaikan permasalahan sekretariat KPPU?
Jawaban kelasik yang sering muncul adalah semata-mata untuk melengkapi formalitas kedinasan.
*) Ir. Barid Effendi merupakan alumnus Fakultas Kehutanan UGM dan Pemerhati Persaingan Usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar