oleh
Harijanto
Kita patut bersyukur, bahwa dari sejumlah 5 (lima) orang anggota BPK yang akan mengakhiri masa jabatannya pada akhir tahun 2019, sampai dengan 29 Juni 2019 telah ada sejumlah 67 calon anggota BPK yang mendaftar ke DPR.
Hal ini berarti dari seorang anggota BPK yang akan berakhir masa jabatannya rata-rata terdapat sedikitnya antara 12 sampai dengan 13 calon Anggota yang berpotensi menggantikannya. Dahulu, cukup banyak calon yang bisa dipertimbangkan dalam fit and proper test untuk memilih anggota BPK sesuai dengan persyaratan mempunyai integritas, profesionalitas dan independensi.
Terlebih lagi dari 67 calon anggota tersebut hampir 80% mempunyai latar belakang akademik dan praktisi yang seharusnya memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup di bidang keuangan negara, hukum, akutansi, administrasi negara dan pemerintahan, dan pemeriksaan/audit. Bahkan ada calon anggota BPK yang memiliki 4 (empat) sampai dengan 7 (tujuh) gelar akademik dari berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan yang disandangnya.
Selain itu, dari 67 calon Anggota BPK tersebut diantaranya, sedikitnya ada 2 orang politisi dan mantan Anggota BPK periode 2014-2019 dan 4 orang anggota/mantan DPR/DPD sekaligus politisi, 1 orang Ketua Umum Partai Politik, 3 orang pejabat Eselon I aktif BPK, 1 orang tenaga ahli BPK, 2 orang mantan pejabat eselon I BPK, 1 orang mantan hakim adhoc tindak pidana korupsi/dosen universitas dan 2 orang mantan Pejabat Eselon II BPK dan 1 orang politisi mantan anggota DPR yang tidak terpilih lagi dalam Pemilu Legislatif 2019.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, dari segi jumlah komposisi akademik, praktisi dalam politisi, calon anggota BPK tahun 2019 cukup variatif dan menjanjikan. Namun demikian dari segi peraturan perundang-undangan pemilihan anggota BPK (Pasal 14 UU No. 15 Tahun 2006), dan pengalaman selama hampir lebih kurang 3 periode keanggotaan BPK 2004-2009, 2009-2014 dan 2014-2019, sulit bisa memilih anggota BPK yang non-partisan sesuai kehendak UU BPK dan karena kewenangan “mutlak” pemilihan anggota dilakukan oleh DPR sebagai lembaga politik.
Konfigurasi tersebut, dikarenakan Pasal 14 UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK, menunjukkan bahwa :
1. Dari sisi kewenangan DPR, ayat (1) menyebutkan Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, hal ini menunjukkan adanya : kewenangan mutlak memilih anggota BPK hanya oleh DPR dan tidak ada kewenangan dari lembaga lain sebagai penyeimbang/second opinion.
2. Dari sisi formalitas, sebagaimana diatur ayat (2), DPR memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD, dan disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama calon Anggota BPK secara lengkap dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama satu bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari pimpinan DPR. Kenyataan itu menunjukkan ketiadaan mekanisme pemilihan dalam suatu forum pembahasan bersama dengan DPD, sehingga DPD tidak mengetahui sejauhmana efektifitas pertimbangan DPD.
3. Dari sisi perspektif kepentingan publik, DPR sangat membatasi sebagaimana diatur ayat (3), perolehan masukan dari masyarakat karena tidak dijelaskan apa dan berapa lama media pengumumnnya, berapa lama waktu yang diberikan kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan bagaimana pembahasan masukan dari masyarakat.
4. Dari sisi transparansi, ayat (4), menyebutkan bahwa proses pemilihan anggota BPK ditetapkan selama 5 (lima) bulan yakni 6 bulan sebelum masa jabatan anggota BPK berakhir sampai dengan ditetapkan 1 bulan sebelum masa jabatan berakhir. Masih cukup waktu selama 5 (lima) bulan untuk proses pemilihan tersebut dengan mengekspos/memberitakannya melalui media cetak/elektronik agar masyarakat dapat mengikuti dan memberikan tanggapannya, seperti halnya proses pemilihan komisioner KPK, Calon Hakim Agung, ataukah Calon Hakim Konsititusi dan tidak diproses “dalam sepi” atau tidak transparan.
5. Dari sisi tata cara pemilihan yang diatur Ayat (5), DPR mengatur tata cara pemilihan anggota BPK dalam Peraturan Tata tertib DPR tentang pemilihan anggota BPK yang ditetapkan sepenuhnya oleh DPR sehingga sangat nampak kepentingan DPR dalam pengisian anggota BPK.
Harijanto, Peneliti ISEA Watch |
1. Tidak didahului dibentuk Panitia Seleksi yang independen yang diberi tugas menyeleksi (fit and proper test) calon anggota BPK yang membantu DPR dalam hal ini Komisi XI menetapkan pemilihannya calon anggota BPK yang dinyatakan lolos. Selama ini fit and proper test dilakukan sendiri oleh DPR. Menurut informasi fit and proper test itupun dilakukan sebatas formalitas dan tidak mendalam menilai integritas, profesionalitas, dan independensi calon anggata BPK tersebut.
2. Saat penggantian anggota BPK yang akan berakhir masa jabatan dan tidak ada agggota BPK yang bisa dipilih untuk masa jabatan yang kedua. DPR berwenang menentukan penggantinya dan yang dipilih berasal dari mantan anggota Komisi XI atau dari komisi lain yang tidak terpilih lagi dalam pemilihan legislatif.
3. DPR akan menentukan anggota BPK yang akan berakhir masa jabatannya dan masih bisa dipilih kembali untuk masa jabatan yang kedua, maka yang dipilih adalah anggota BPK yang bersangkutan untuk masa jabatan yang kedua.
4. DPR juga berwenang memilih calon anggota BPK yang mempunyai sponsorship kuat dan didukung oleh Partai Politik tertentu dalam Komisi XI DPR atau fungsionaris DPR. Oleh karena itu, mustahil ada calon anggota BPK bisa dipilih atau terpilih menjadi anggota BPK.
Dari praktek pemilihan anggota BPK tersebut di atas, secara umum prestasi kinerja BPK periode 2004 s/d 2019 sangat tidak memuaskan terutama tidak tercapainya tugas BPK sebegaimana dikehendaki UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK, yaitu menciptakan pengelolaan keuangan negara yang efisien, ekonomis, efektif (3E), transparan dan bertanggungjawab serta menciptakan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Hal yang menyakitkan karena beberapa auditor termasuk anggota BPK belakangan ini terkena kasus yang harus berhubungan dengan penegak hukum, BPK tercoreng oleh pejabat atau auditor terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dalam persidangan terungkap melakukan hal yang sangat tidak pantas.
Kasus terhadap auditor yang terkait masalah penyuapan di Kementerian Desa Tertinggal, terbukti menerima suap berkaitan dengan pemberian opini WTP. Skandal suap juga terjadi di proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Komisi Pemberantasan Korupsi telah menjerat delapan tersangka termasuk satu anggota BPK dan auditornya. Kasus lain berkaitan dengan suap berupa sepeda motor Harley Davidson kepada auditor BPK. Hal ini menunjukkan BPK yang seharusnya menjadi lembaga yang bertugas mencegah korupsi, justru terlibat dalam praktik korupsi.
BPK selama ini menjadi lembaga negara yang mempunyai posisi terhormat, dalam kenyataannya sampai terjerumus pada kasus-kasus yang mencoreng nama baik. BPK yang pernah dipimpin oleh tokoh bangsa yang berpengaruh seperti Sultan Hamengkubuwono IX, Umar Wirahadikusumah, M. Yusuf, J.B. Sumarlin, S.B. Yudono, dan Anwar Nasution, mereka telah membawa lembaga ini sangat berwibawa.
Selain dari itu, BPK telah terbawa kepada persepsi bahwa hasil pemeriksaan BPK terhadap lembaga pemerintah, kementerian, provinsi, kabupaten atau kota yang diberi predikat sebagai WTP atau disebut hasil audit Wajar Tanpa Pengecualian (unqualified opinion), telah disamakan dengan pengertian instansi tersebut telah terbebas dari korupsi, padahal predikat WTP sebetulnya titik awal cara penyusunan laporan keuangan yang sesuai standar.
Melihat konstelasi dalam pemilihan anggota BPK tersebut, disarankan :
1. Calon anggota BPK dipilih oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara melalui seleksi atau fit and proper test tentang integritas, profesionalitas dan independensinya oleh Panitia Seleksi yang profesional yang dibentuk oleh Presiden.
2. Calon anggota BPK disampaikan oleh Presiden untuk mendapat pertimbangan kepada DPR di Komisi yang bertanggung jawab dibidang hukum, anggaran/budget dan pengawasan kinerja pemerintah.
*) Harijanto, adalah peneliti, ISEA Watch (Independence Supreme Audit Watch) adalah lembaga mandiri pemantau kinerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI), didirikan tahun 2018, berbadan hukum berdasarkan Keputusan Menteri Hukum Dan HAM No. AHU-0005601.AH.01.07 Tahun 2018. Akta Notaris Netty Maria Machdar, SH No. 93 Tahun 2018 Tanggal 09 April 2018. Memiliki visi menjadi pendorong aktivitas pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara untuk mencapai hasil pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat untuk mencapai tujuan negara.
Alamat Jl. Warung Jati Barat (dh Jl. Warung Buncit Raya No. 32) Kel, Pejaten Barat, Pasar Minggu. Jakarta Selatan. Kode Pos. 12510.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar