Dr. Suparto Wijoyo, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga |
TULISAN ini merupakan permenungan atas realitas yang memperhinakan peradaban bangsa. Korupsi merayapi seluruh koordinat institusi negara yang jumawah kuasa dengan harta dan tahtah. Khalayak menyaksikan betapa korupsi menjadi produk keserakahan “modal maupun otoritas legal” yang menjalar di tubuh negara. Simaklah korupsi yang diungkap KPK selama ini, termasuk korupsi sektor: pertambangan, layanan umum, e-KTP, serta para penikmat dana BLBI, adalah orang-orang yang berbilang “sang kuasa” kapital. Kasus skandal BLBI yang “naik-turun” pengungkapannya, dana pungut dan sogokan yang melintas di pojok-pojok “terminal” kota, serta transaksi sumber daya alam di bumi Papua yang belum tergoyahkan, sungguh telah membelalakkan mata publik.
Rakyat terhenyak dan tampak terpaku tidak mampu beranjak. Rasa geram sebagai warga negara atas penggarongan “biaya negara” terpotret menyembul ke permukaan dengan kekesalan paripurna. Tatanan e-KTP dan tata cara perizinan yang secara programatik sangat bagus, tampak menjadi ejekan destruktif dalam tingkatan yang serius: ada uang ada barang.
Korupsi pada setiap segmennya, benar-benar menggerogoti daya tahan negara sekaligus merampok hak-hak warga secara terencana. Laku korupsi oleh jajaran politisi, birokrasi serta aparatur penegak hukum, menjadikan kita berjarak dengan makna sejati negara hukum (rechtsstaat). Parlemen dan kabinet terpotret melumuri wajahnya dalam bungkus kebijakan anggaran yang “siap santap”. Demokrasi yang mengajarkan daulat teragung di tangan rakyat, terlihat kian dipermainkan dalam balutan kuasa serakah. Terhadap hal ini saya teringat pesan filosofis Mohandas Karamchand Gandhi, (1869-1948): “... earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed”. Beliau telah berujar penuh makna: sejatinya bumi dapat mencukupi seluruh kebutuhan umat manusia, tetapi tidak pernah cukup untuk memenuhi keserakahan seseorang. Bukankah korupsi itu adalah lambang keserakahan? Jangan pernah mencoba.
Political Corruption
Langkah KPK membongkar korupsi-korupsi besar telah menggelegarkan dentuman yang menyesakkan. Anggaran e-KTP yang mencapai Rp5,9 triliun mengalir deras “ke sarang penyamun” sebesar Rp2,558 triliun. 49% uang rakyat itu didistribusi secara proporsional oleh para pihak penempuh jalan politik. Dalam lingkup demikian, benarlah apa yang diungkapkan Arnold J. Heidenheimer dan Michael Johnston dalam bukunya Political Corruption (2009) yang menganalisis kedudukan finansial partai politik, sistem kampanye dan kompetisi politik, acap kali tergiring memasuki lahan politik yang bernama korupsi. Pun terdapat “cuitan” Pramoedya Ananta Toer sejak 1957 melalui novel Korupsi, bahwa korupsi telah bergerak dari urusan moral individual menjadi masalah sosial politik, fenomena yang membudaya.
Kondisi itu pastilah menorehkan keperihan diam-diam bagi eksistensi Republik yang meneguhkan diri sebagai negara hukum. Parlemen dan pemerintah adalah pembentuk hukum (rechtsvorming) yang menelurkan undang-undang. Konsekuensi terjauh dalam relasi legislatif dan eksekutif yang berlaku koruptif adalah hadirnya regulasi yang disusun dengan sekongkol rasuah. Rancangan pasal-pasal hukum memuai menjadi pasar aturan yang menata struktur anggaran berbagai proyek pemerintahan yang dibungkus dalam APBN (APBD). Fungsi perundang-undangan dan anggaran berposisi saling menguatkan “banjakan dana negara” seperlingkaran kasus Hambalang, e-KTP, BLBI dan tambang. Tampilan politik hukum dalam prahara korupsi yang melibatkan “sang kuasa jabatan maupun modal” di parlemen dan birokrasi pemerintahan dapat memburamkan warna asli tugasnya. Korupsi BLBI dan e-KTP mencerminkan pekerjaan yang rapi, sistematis, masif dan kolosal.
Plato, Anda Benar
Institusi hukum mustilah terpanggil untuk membereskan “gerakan korupsi” yang “tampil norak dan berani”. Dukungan kaum terdidik terhadap KPK untuk mengusut tuntas korupsi yang dilakukan “pemilik kekayaan jumbo” menandai adanya sokongan moral kaum intelektual. Sang terdidik yang jiwanya anti korupsi dapat mengelola semangat rakyat membentengi KPK senafas amanat akademik. Nalar sehat berkata agar kejahatan korupsi tidak diproteksi. Kasus korupsi dalam segala tingkatannya jangan sampai “diternak tanpa ditindak”.
Kosmologi cendekia memberikan pekabaran yang sangat terang atas gagasan Plato (427-347 SM). Plato di berbagai karyanya semisal Laches, Protagoras, Phaedo, Republik, Meno, Parmenides, Theaetetus dan Undang-undang, sejatinya merekomendasikan agar kekuasaan polis (negara kota) dipegang seorang “pemanggul kabajikan”: Filosof memiliki cakrawala pandang yang komprehensif guna menampung beban rakyat. Perenungan Plato dapat menjadi referensi dan spirit dunia kampus memperkuat KPK membersihkan bangsa ini dari najis korupsi.
Dalam lingkup yang demikian, benarlah apa yang diliterasikan Plato. Pemimpin yang mengenal filsafat diyakini mengerti dan mengamalkan falsafah negaranya. Hal ini berarti tidaklah pantas dalam negara hukum Pancasila yang menormakan sumpah pejabatnya “dengan menyebut nama Tuhan”, ada tindakan korupsi. Plato menambahkan dalam buku dialogis klasiknya, Republik, bahwa kepemimpinan orang yang jujur jauh lebih menguntungkan. Mestinya mereka yang “memegang kendali kuasa” tidak tergoda “kemilau korupsi”. Tentu ada yang “khilaf moral” apabila palungguhan jabatan menggiringnya bertindak nista mengambil haknya liyan.
Saatnya Bercermin Diri
Sesi akhir 2017 ini merupakan momentum penting untuk bercermin diri dengan menggali kembali dasar falsafah negara. Apa yang telah diraih oleh kita semua dalam menyelenggarakan negara selama 72 tahun ini? Tujuan utama yang musti diserahkan kepada negara adalah pengabdian. Tekad mengabdi dicitakan melahirkan manusia yang penuh kemuliaan.
Pada titik kesadaran itulah, terdapat renungan yang dinarasikan dengan apik dalam buku Hikayat Arabia Abad Pertengahan (Tales of The Marverios) yang serupa dengan legenda 1001 Malam (The Arabian Nights), seperti diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris oleh Malcolm C. Lyons (2014), berbunyi: “Pada mayat yang terbungkus, tergantung tablet dengan tulisan: Akulah Syaddad yang Agung. Aku menaklukkan seribu kota; seribu gajah putih dikumpulkan untukku; aku hidup selama seribu tahun dan kerajaanku menjangkau timur dan barat. Tetapi ketika kematian datang kepadaku, tak satu pun dari semua yang aku kumpulkan berfaedah bagiku. Engkau yang menyaksikanku dapat mengambil pelajaran: waktu tak bisa dipercaya”.
Akhirnya, yakinlah bahwa rute terakhir episode kehidupan menuju kematian, antara yang korupsi dan mengabdi, pastilah bersimpang jalan. Selamat Tahun Baru 2018. (Suparto Wijoyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar