Sejumlah pihak mempersoalkan ketentuan ambang batas suara dalam pengajuan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Sebab adanya ketentuan itu gugatan perkara Penyelesaian Hasil Pilkada (PHP) di MK kerap digugurkan dari persoalan yang tak substantif dan hanya secara prosedural.
Dalam putusan PHP terdahulu, MK selalu mempertimbangkan keadilan substantif. Namun hal tersebut tidak lagi berlaku pada putusan PHP yang dikeluarkan MK pada tahun 2015 lalu. Hal ini dikarenakan MK menilai persoalan Pilkada tidak sama dengan Pemilu. Dalam sengketa hasil Pemilu, MK bisa memeriksa hasil suara jika disinyalir ada kecurangan yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM). Sementara dalam konteks sengketa Pilkada, ada aturan ketat bahwa MK baru bisa memeriksa dan memutus perkara yang dimohonkan jika selisih suara hasil Pilkada tersebut sesuai ambang batas. Saiful pun menilai hal tersebut sebagai suatu kemunduran.
Ketua DKPP sekaligus Mantan Hakim konstitusi Jimly Assiddiqie juga menyampaikan kekecewaannya terkait ketentuan ambang batas suara. Menurut Jimly, persoalan ambang batas suara sebaiknya ditiadakan. Alasannya, kedatangan orang-orang ke lembaga peradilan—dalam hal ini ke MK—haruslah dilihat sebagai upaya kanalisasi mencari penyaluran atas kekecewaan dan ketidakpuasan mereka terhadap hasil Pilkada.
"Jadi jangan ditutup oleh pembatasan itu. Biar nanti ada proses pembuktian sehingga jika ada pihak yang tidak bisa membuktikan bagaimana dia menang, ya harus dikalahkan (oleh MK-red). Begitu juga sebaliknya. Jika dia bisa membuktikan bahwa dia menang, ya dimenangkan," kata Jimly.
Jimly menambahkan, aturan soal ambang batas suara memang dibuat dengan landasan bahwa pembuktian menang-kalahnya calon pasangan tertentu akan lebih mudah dilakukan jika selisih suaranya tidak terpaut begitu jauh. Namun demikian, kata Jimly, biarlah persoalan kalah-menang itu dibuktikan lebih lanjut di persidangan. Bagaimanapun, MK harus mampu menampung kekecewaan publik.
"Orang-orang itu kan ingin mengeluhkan keluh kesahnya. Ada yang berlebihan. Ada yang tidak punya bukti dan hanya ingin marah saja. Daripada dibiarkan meledak-ledak sehingga membakar kantor KPUD seperti di Intan Jaya, lebih baik ditangani. Sehingga tidak perlu ada pembatasan begini" papar Jimly.
Untuk diketahui, sepanjang MK menggelar sidang PHP dengan agenda mendengar keterangan termohon, nyaris seluruh termohon menyasar legal standing para pemohon agar MK menolak permohonan mereka. Dan hal yang kerap jadi sasaran empuk atas hal tersebut adalah ketentuan ambang batas suara.
"Selisih kami 12,3%. Dengan jumlah penduduk 100.993 jiwa, pasangan calon kepala daerah Kabupaten Mappi sebetulnya hanya bisa mengajukan permohonan dengan selisih suara sebesar 2%," papar Efrem Fangohoy, Kuasa Hukum pasangan calon kepala daerah kabupaten Mappi, Papua Barat, Jumame-Yermogoin, kepada gresnews, Senin (20/3) lalu.
Efrem menyebut bahwa pihaknya sengaja datang ke MK demi memperjuangkan keadilan. Pun, di saat bersamaan pihaknya sadar bahwa secara prosedural perkara yang dimohonkan ke MK tidak memenuhi ketentuan ambang batas.
"Itu bukan soal bagi kami. Yang penting, kami sampaikan dulu ke MK bahwa ada pelanggaran TSM di Mappi. Siapa pun tidak akan menang kalau belum apa-apa sudah dicurangi," sambungnya. Sejumlah pihak mempersoalkan ketentuan ambang batas suara dalam pengajuan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Sebab adanya ketentuan itu gugatan perkara Penyelesaian Hasil Pilkada (PHP) di MK kerap digugurkan dari persoalan yang tak substantif dan hanya secara prosedural.
"Penting bagi MK untuk mempertimbangkan keadilan substantif, bukan semata keadilan prosedural," kata kandidat doktor Hukum Tata Negara UI, Saiful Anam kepada gresnews.com, Selasa (21/2).
Saiful mengungkapkan, di dalam putusan PHP terdahulu, MK selalu mempertimbangkan keadilan substantif. Namun hal tersebut tidak lagi berlaku pada putusan PHP yang dikeluarkan MK pada tahun 2015 lalu. Alasannya, kata Saiful, MK menilai persoalan Pilkada tidak sama dengan Pemilu. Dalam sengketa hasil Pemilu, MK bisa memeriksa hasil suara jika disinyalir ada kecurangan yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM). Sementara dalam konteks sengketa Pilkada, ada aturan ketat bahwa MK baru bisa memeriksa dan memutus perkara yang dimohonkan jika selisih suara hasil Pilkada tersebut sesuai ambang batas. Saiful pun menilai hal tersebut sebagai suatu kemunduran.
"Sudah tidak ada lagi pertimbangan mengenai kecurangan yang dilakukan secara TSM. Jelas itu merupakan kemunduran. Jika bukan ke MK, ke mana lagi orang-orang yang dirugikan oleh hasil Pilkada akan mencari keadilan?" papar Saiful. Saiful pun menyayangkan bahwa dalam beberapa perkara, ada sejumlah kasus yang sudah dinyatakan terjadi pelanggaran oleh DKPP, tapi saat perkara tersebut dibawa ke MK, MK menolak. "Ini ngeri. Keadilan prosedural lebih diutamakan ketimbang keadilan substansif," pungkasnya.
Senada dengan Saiful, beberapa waktu lalu, Ketua DKPP sekaligus Mantan Hakim konstitusi Jimly Assiddiqie juga menyampaikan kekecewaannya terkait ketentuan ambang batas suara. Menurut Jimly, persoalan ambang batas suara sebaiknya ditiadakan. Alasannya, kedatangan orang-orang ke lembaga peradilan—dalam hal ini ke MK—haruslah dilihat sebagai upaya kanalisasi mencari penyaluran atas kekecewaan dan ketidakpuasan mereka terhadap hasil Pilkada.
"Jadi jangan ditutup oleh pembatasan itu. Biar nanti ada proses pembuktian sehingga jika ada pihak yang tidak bisa membuktikan bagaimana dia menang, ya harus dikalahkan (oleh MK-red). Begitu juga sebaliknya. Jika dia bisa membuktikan bahwa dia menang, ya dimenangkan," kata Jimly.
Jimly menambahkan, aturan soal ambang batas suara memang dibuat dengan landasan bahwa pembuktian menang-kalahnya calon pasangan tertentu akan lebih mudah dilakukan jika selisih suaranya tidak terpaut begitu jauh. Namun demikian, kata Jimly, biarlah persoalan kalah-menang itu dibuktikan lebih lanjut di persidangan. Bagaimanapun, MK harus mampu menampung kekecewaan publik.
"Orang-orang itu kan ingin mengeluhkan keluh kesahnya. Ada yang berlebihan. Ada yang tidak punya bukti dan hanya ingin marah saja. Daripada dibiarkan meledak-ledak sehingga membakar kantor KPUD seperti di Intan Jaya, lebih baik ditangani. Sehingga tidak perlu ada pembatasan begini" papar Jimly.
Untuk diketahui, sepanjang MK menggelar sidang PHP dengan agenda mendengar keterangan termohon, nyaris seluruh termohon menyasar legal standing para pemohon agar MK menolak permohonan mereka. Dan hal yang kerap jadi sasaran empuk atas hal tersebut adalah ketentuan ambang batas suara.
"Selisih kami 12,3%. Dengan jumlah penduduk 100.993 jiwa, pasangan calon kepala daerah Kabupaten Mappi sebetulnya hanya bisa mengajukan permohonan dengan selisih suara sebesar 2%," papar Efrem Fangohoy, Kuasa Hukum pasangan calon kepala daerah kabupaten Mappi, Papua Barat, Jumame-Yermogoin, kepada gresnews.com, Senin (20/3) lalu.
Efrem menyebut bahwa pihaknya sengaja datang ke MK demi memperjuangkan keadilan. Pun, di saat bersamaan pihaknya sadar bahwa secara prosedural perkara yang dimohonkan ke MK tidak memenuhi ketentuan ambang batas.
"Itu bukan soal bagi kami. Yang penting, kami sampaikan dulu ke MK bahwa ada pelanggaran TSM di Mappi. Siapa pun tidak akan menang kalau belum apa-apa sudah dicurangi," sambungnya. (GN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar