Kiprah Ali Nurdin sebagai advokat tak lepas dari keinginan untuk membantu berbagai kasus hukum. Banyak kasus hukum yang telah ditangani membuatnya namanya sebagai pengacara muda sangat dikenal terutama di kota Kembang, Bandung. Di tengah kondisi lemahnya dunia hukum, Ali Nurdin menilai pentingnya etika dan moral semua unsur yang terlibat di dalamnya. Seperti apa kiprahnya?
Nama pengacara muda Ali Nurdin mulai diperhitungkan di dunia hukum. Belasan tahun berkiprah di bidang advokat, pria asal Bandung ini cukup kritis menyikapi berbagai kasus hukum yang terjadi saat ini.
Semangatnya begitu tinggi saat membicarakan dunia hukum. Semua itu tak lepas dari permasalahan keluarganya yang menghadapi kasus soal tanah di kawasan Pasteur, Bandung. Namun terkendala biaya untuk menghadapi permasalahan itu.
Ali Nurdin pun terdorong untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Ia pun ngotot mengambil kuliah hukum atas keinginan sendiri.
“Saya masuk dunia hukum atas keinginan sendiri. Sempat diejek teman-teman karena saat itu jurusan yang sedang jadi pilihan favorit adalah manajemen atau akuntansi. Tapi saya bergeming, tetap pilih jurusan hukum,” kenangnya.
Ali Nurdin menilai, dunia hukum di Indonesia hingga kini belum membaik bahkan bisa disebut sudah sakit sangat parah. Ia pun merasa sangat sulit menggambarkan betapa parahnya dunia hukum di Indonesia. Apalagi beberapa waktu lalu salah satu hakim MK tertangkap oleh KPK karena kasus suap, dan sebelumnya mantan Ketua MK juga terlibat kasus yang sama.
Melihat kondisi dunia hukum saat ini, Ali Nurdin tetap memiliki harapan akan membaik, namun semua penegak hukum termasuk lawyer harus melakukan beberapa upaya. Terutama adalah memiliki etika dan moral yang bagus.
“Ingat, lawyer yang menjadi sutradara sebuah kasus mau dibawa ke mana. Kalau lawyer bertindak benar, rasanya kasus bisa dibawa dan diselesaikan dengan benar. Dan ingat jangan sampai lawyer diatur segalanya oleh klien. Antara klien dan lawyer dalam menangani kasus kedudukannya seimbang. Klien yang mengatur lawyer-lah yang kadang membuat keadaan terkadang tidak baik,”paparnya.
Menurut Ali Nurdin, etika dan moral berperan sangat penting untuk penegakan hukum di Indonesia. Dengan berpegang pada dua hal itu, seorang lawyer maupun lembaga penegak hukum akan bisa menjalankan tanggung jawabnya dengan baik.
Puluhan hingga ratusan kasus baik kasus besar maupun kecil membuat nama Ali Nurdin sebagai pengacara muda cukup dikenal. Salah satu pengalaman yang membuatnya berkesan ketika ia pernah mengembalikan uang negara sebesar Rp.17 milyar saat menjadi pengacara salah satu pejabat Papua.
Rasakan Banyak Manfaat dari Hobi
Sepak terjang Ali Nurdin di dunia hukum tak membuatnya melupakan hobi. Menurutnya, hobi merupakan sarana menyalurkan semua hal yang disukainya.
“Kalau lagi pusing, hobi bisa jadi penyalur yang baik, bisa lebih berekspresi dalam bentuk yang menguntungkan,” ujarnya tersenyum.
Hobi Ali Nurdin antara lain mengoleksi motor gede, berolahraga mulai dari tinju, kickboxing, martial art, nge-gym sampai bersepeda gunung. Ia bahkan membangun tempat berlatih gym di dekat kantor, lengkap dengan puluhan alat untuk kebugaran.
“Jika sedang ruwet saya nge-gym deh. Jadi lega, daripada makan obat, mending olahraga,” kata pria yang juga hobi berolahraga sepeda ini.
Beberapa organisasi sempat diikutinya seperti Granat, HIPMI, namun sudah distop karena urusan waktu menjadi kendala. Ali juga mengoleksi ratusan buku, termasuk buku hukum yang tertata rapi di ruangan kerjanya. Adapula buku dengan berbagai judul, mulai dari buku tentang Islam, ilmu pengetahuan, ensiklopedia, buku hukum serta buku lainnya.
Salah satu hobi Ali yang banyak memberi manfaat adalah hobi moge. Saat ini ia bergabung di klub Harley Davidson dan menjadi ketua advokasi HDC Jawa Barat. Pemilik beberapa motor gede bermerek dan pengoleksi pakaian bertulis atau beremblem motor besar ini mengatakan, dari hobi moge bisa membuka link dengan banyak orang yang tergabung klub Harley Davidson dan mendapat banyak teman.
Kecintaan pada moge juga terlihat dari ruangan kerjanya seluas 4 x 6 cm yang didominasi warna coklat dan hitam. Di sudut ruangan kerjanya tampak deretan baju bertulis Harley Davidson yang tertata rapi.
Hobi di dunia olahraga juga menginspirasi Ali Nurdin untuk mendirikan Bandung Fighting Club (BFC) bersama rekan-rekannya. BFC semula merupakan klub bela diri, pada tahun 2001 – 2002 ketika banyak ormas di Bandung yang ingin ke dunia malam secara gratis dan hal-hal lain yang tidak jelas, ada pengelola yang minta dijaga tempatnya.
Dari sanalah BFC mulai berkembang sebagai tempat latihan orang yang ingin bekerja sebagai security hingga menjadi pusat pelatihan TNI/Kopassus, bahkan Paspampres.
“Bukan TNI atau Kopassus yang melatih, tapi kita yang melatih mereka. Dan ini sudah berjalan sekitar 4-5 tahun. Dalam setahun 2-3 kali latihan di BFC selama sekitar 2-3 bulan. Sekali datang sekitar 10-15 orang,”ucap Ali yang menyukai olahraga basket saat SMA.
Peluang itu pun dilihat Ali Nurdin yang terus mengembangkan BFC bukan hanya tempat latihan, tapi juga sebagai bisnis yang bisa membuka lapangan kerja bagi banyak orang.“Saya terus mengembangkan bisnis ini dengan cara mencari tenaga kerja baru, dan terus mencari klien sebanyak-banyaknya agar bisa menjadi tempat kerja anggota BFC. Bisnis ini selain prospeknya bagus, juga bisa bantu banyak orang,” tegasnya.
BFC saat ini membuka lapangan kerja bagi sekitar 700 orang dan memiliki sistem semi outsourcing. Calon anggota tidak dipungut biaya saat bergabung ke BFC. Urusan kerja termasuk gaji dilakukan antara anggota BFC langsung dengan kliennya, dan BFC tidak memotong sesenpun. Anggota BFC hanya membayar uang pembinaan untuk klub karena awalnya adalah klub bela diri. Saat ini BFC banyak mempekerjakan atlet tinju, wushu, kickboxing, hingga atlet nasional yang pernah bertanding di luar negeri.
Mendidik Anak untuk Kerja Keras
Profesi sebagai advokat dengan kehidupan mapan membuat Ali Nurdin bersyukur dan tak ingin kesulitan hidupnya saat ia masih kecil dialami dua buah hatinya. Di masa kecilnya Ali Nurdin sudah kehilangan kasih sayang ayah dan menjadi anak yatim. Ia terpaksa diasuh oleh nenek terpisah dari sang ibu karena beban berat sang ibu dengan 8 anak. Sejak kecil ia tinggal bersama neneknya di Purwakarta dan baru kembali berkumpul bersama mamanya ketika sudah SMP.
Pengalaman hidupnya itu pun membuat Ali Nurdin berusaha melimpahkan kasih sayang pada dua putrinya. Namun pria kelahiran Bandung 29 Mei 1976 menanamkan pada anak-anaknya bahwa tidak semua hal bisa dipenuhi.
“Misalnya, mau beli handphone karena teman-temannya ganti, saya tahan kemauannya, saya selalu bilang saya cari uang dulu. Syukurnya anak saya mau mengerti dan tahu diri. Saya juga selalu bilang mencari uang itu susah dan perlu kerja keras. Terkadang saya kemukakan ke anak saya, kalau kehidupannya sekarang ini enak. Saya suka bilang ke dia ”teh waktu segede teteh, papih gak ada yang beliin sepatu bagus, baju bagus, bersekolah di tempat yang bagus”, anak saya mah paling jawab iya pap, iya pap,” kenang Ali tersenyum.
Berlatar belakang keluarga biasa, Ali Nurdin pernah merasakan sulitnya mendapat uang dan ia pun tak ingin kondisi itu terjadi pada keluarganya. ”Saya berasal dari keluarga biasa, kalau tidak mau dibilang pas-pasan. Saya ingat setiap mau ujian saya dipanggil ke TU. Nomer ujian sekian harap menyelesaikan biaya kuliah, malu juga tapi dari situ saya punya tekad hal ini jangan terulang ke keluarganya kelak, “ tambah Ali.
Kini di tengah kesibukan sebagai advokat dan pebisnis, Ali selalu meluangkan waktu bagi keluarga di hari Sabtu dan Minggu. Biasanya ia dan keluarganya ke mall, sekedar makan. Atau jika waktu libur panjang ke tempat wisata.
Kunci Sukses Jadi Lawyer
Di tengah kesibukan sebagai advokat, Ali Nurdin sempat tergiur masuk ke dunia politik. Kebetulan salah seorang teman dekatnya di BFC juga menjadi anggota dari sebuah partai besar. Ali yang memiliki kedekatan dengan Laksamana Sukardi lalu bergabung dengan Partai Demokrasi Pembaharuan.
Menurutnya ia memiliki misi yang sejalan dengan partai tersebut. Di pemilu 2004 ia pun nyaleg untuk DPRD Kota Bandung, ia gagal.
“Waktu itu suara saya bagus hanya suara partai kalah jadi akhirnya partai yang menentukan. Akhirnya gagal deh,” kenangnya.
Ali pun sempat sedih atas kegagalannya itu, mengingat ia sudah mengeluarkan modal cukup besar dengan menjual satu rumah dan dua apartemen. Setelah itu, ia pun fokus ke dunia advokat. Namun dari kegagalannya itu ia banyak mengambil manfaat banyak membangun link dengan orang-orang politik yang sangat berharga bagi profesinya sebagai lawyer.
Menurut Ali, seorang lawyer harus pandai membangun link dan membangun komunikasi untuk bisa sukses. Link dan komunikasi merupakan alat marketing lawyer dan merketernya adalah lawyer itu sendiri. Banyak lawyer yang gagal karena kurangnya komunikasi sehingga sulit mendapat klien. Akhirnya banyak advokat yang banting setir jadi notaris.
Ali yang pernah menjadi dosen di almamaternya dengan gaji sekitar Rp.800ribu – Rp.1,2 juta menilai untuk menjadi advokat memang tak mudah. Saat ini banyak mahasiswa hukum jika ditanya ingin menjadi advokat karena lebih mudah mendapatkan uang, namun hal itu tidak akan berhasil jika tidak membangun komunikasi yang baik dengan semua kalangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar