Pertikaian internal Partai Golkar dan PPP merupakan salah satu pemicu dikeluarkannya SEMA 4/2016. Sengketa jangan berlarut-larut. (Foto:Antara) |
Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan di penghujung tahun 2016 lalu.
Lewat SEMA tersebut, sejumlah kamar di MA menyekapati beberapa rumusan permasalahan hukum hasil pleno kamar. Salah satunya, kamar perdata khusus mengenai sengketa atau perselisihan partai politik (parpol).
Bagi Pengadilan Negeri (PN) yang menangani perselisihan sengketa kepengurusan partai misalnya, dapat mengacu pada rumusan kamar perdata khusus MA. Kamar Perdata Khusus MA menyepakati rumusan terkait perselisihan partai politik (parpol) akibat berlakunya Pasal 32 ayat (5) dan Pasal 33 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Perselisihan parpol ini sepenuhnya kewenangan Mahkamah Parpol atau sebutan lain mengenainya. Selain itu, disepakati putusan PN adalah putusan tingkat pertama dan terakhir. Karena itu, rumusan ini seolah menutup peluang para pihak (pengurus parpol) untuk mengajukan kasasi ke MA sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UU Parpol.
Munculnya, rumusan kamar perdata khusus itu buntut dari ketidakonsistenan antara satu pasal dengan lainnya. Yakni, Pasal 32 ayat (4) dan (5) UU No. 2 Tahun 2011 tentang Parpol yang menggariskan Mahkamah Partai harus menyelesaikan perselisihan kepengurusan dalam waktu 60 hari dan putusannya bersifat final dan mengikat. Namun, Pasal 33 ayat (1) UU Partai Politik justru menyebut dalam hal penyelesaian perselisihan seperti dimaksud Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri (PN).
Nah, terbitnya rumusan kamar perdata khusus yang menyebutkan putusan PN adalah pertama dan terakhir seharusnya menjadi acuan/pedoman pengadilan agar tidak kemudian penanganan perkara sengketa perselisihan partai menjadi berlarut-larut. Contohnya, kasus sengketa kepengurusan Partai Golkar (kini telah selesai,-red) dan Partai Persatuan Pembangunan (masih berlanjut perseteruannya,-red) membuktikan betapa berlarut-larutnya penanganan sengketa kepengurusan parpol hingga berujung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Partai Golkar sejak awal berdiri memiliki sejarah panjang yang solid dalam percaturan perpolitikan di era Orde Baru (Orba) hingga era Reformasi. Sayangnya pada 2014, partai berlambang pohon beringin itu diterpa badai perpecahan akibat dua kubu yang bertikai. Yakni, kubu hasil Munas Bali dibawah tampuk kepemimpinan Abu Rizal Bakrie (ARB) bertempur dengan kubu Munas Ancol dengan dibawah kendali Agung Laksono.
Partai Golkar telah melewati penyelesaian sengketa di Mahkamah Partai (atau sebutan lain,-red) yakni, penyelesaian mekanisme di internal partai. Namun, putusan Mahkamah Partai dipandang belum memuaskan. Alhasil, masing-masing kubu menempuh jalur hukum. Awalnya, Mahkamah Partai Golkar memutuskan kepengurusan DPP Golkar yang sah dibawah nahkoda Agung Laksono hasil Munas Ancol. Lalu, Menkumham Yasonna H Laoly menerbitkan SK Menkumham bagi kepengurusan Agung Laksono. Kubu ARB pun memperkarakan ke PN Jakarta utara dan PN Jakarta Barat.
Bahkan, digugat pula SK Menkumham tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dalam putusan PTUN Jakarta No. 62/G/2015/PTUN membatalkan Keputusan Menkumham tentang pengesahan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono tertanggal 23 Maret 2015. Putusan itu dinilai bertentangan dengan Putusan MA No. 194/K/TUN/2011 jo Putusan PTUN Jakarta No. 138/G/2009/PTUN JKT terkait sengketa kepengurusan Partai Peduli Rakyat Nasional. Sebab, Pasal 2 UU PTUN sudah menegaskan tidak termasuk “Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan ‘badan peradilan’ berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ke dalam pengertian Keputusan TUN.
Meski kedua kubu menempuh jalan hukum dan ngotot kepengurusan masing-masing paling benar dan saling gugat, tetapi akhirnya mereka melakukan upaya kesepakatan dengan dimediasi oleh senior Golkar Jusuf Kalla. Hasilnya, kedua kubu bersepakat menggelar Munas Luar Biasa di Bali. Walhasil, Setya Novanto yang notabene kubu ARB itu terpilih secara aklamasi. Sementara calon lainnya mundur teratur.
Berbeda dengan Golkar yang sudah ‘rujuk’, partai berlambang Ka’bah yakni PPP masih terus bergelut antara dua kubu. Yakni kubu Romahurmuzy melawan kubu Djan Faridz. Meski kedua kubu sudah menempuh jalur internal, toh kubu Djan Faridz tetap menempuh jalur hukum.
Jalur islah sudah ditempuh. Meski akhirnya menggelar muktamar di Asrama Haji Pondok Gede, Djan Farid urung hadir. Walhasil, Romy kembali mencalonkan dan terpilih secara aklamasi. Kepengurusan Romy akhirnya mendapat pengesahan dari pemerintah melalui Keputusan Menkumham, Yasonna H Laoly. Sementara kubu Djan Farid terus bergelut untuk menempuh jalur hukum.
Berkaca dari kasus sengketa kepengurusan dua partai yang menguras energi itulah kemudian kamar perdata MA menerbitkan rumusan hasil pleno kamar dalam penanganan sengketa partai politik.
Kepala Biro dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur mengatakan perselisihan partai politik akibat Pasal 33 dan Pasal 35 UU Parpol hakikatnya menjadi kewenangan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain. Menurutnya, sengketa atau perselisihan partai sejatinya kewenangan penuh internal partai untuk menyelesaikannya.
“Ini perselisihan prasangka diantara mereka sendiri, sehingga mereka harus menyelesaikan sendiri persoalannya. Kecuali, persoalan penghitungan hasil pemilihan suara, pelanggaran pemilu, penggaran kampanye itu bisa menjadi wewenang hakim,” kata Ridwan di ruang kerjanya, Jum’at (10/2).
Namun, merujuk UU Partai Politik, keputusan sengketa partai di Mahkamah Partai dapat "diboyong" ke Pengadilan Negeri oleh salah satu pihak yang keberatan, sepanjang adanya berita acara. Setidaknya, ada bukti catatan penyelesaian di internal partai politik yang bersangkutan. Bahkan, praktiknya sengketa kepengurusan parpol selama ini diajukan keberatan hingga ke MA. “Namun, seringkali putusannya tidak dapat diterima. Pertimbangannya, lantaran tidak adanya hukum acara.”
Menurutnya, banyaknya perkara sengketa internal parpol hanya untuk memperlama proses dan mengulur-ulur waktu saja. Makanya, dalam rumusan kamar perdata khusus ini sengketa parpol di PN tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK). “Makanya,‘dikunci’ dengan rumusan ini.”
“Munculnya rumusan pleno kamar perdata khusus ini karena ada beberapa kasus di MA. Tetapi saya belum lihat data kasusnya. Yang pasti, munculnya muncul persoalan ini berasal dari keberatan putusan sengketa parpol di tingkat pertama. Orang ngotot mau dikirimkan persoalannya ke MA,” katanya.
Masih boleh PK
Terpisah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kubu Romy, Arsul Sani punya pandangan lain. Ia berpendapat UU yang menyatakan putusan PN pertama dan terakhir tak saja terkait dengan sengketa partai politik, namun juga Pilkada. Menurutnya, putusan PN sebagai putusan pertama dan terakhir tak melulu dimaknai menghilangkan upaya hukum luar biasa.
“(Putusan, red) tingkat pertama dan terakhir itu dalam pengertian sebagai upaya hukum biasa tidak tersedia. Tetapi, kalau upaya hukum luar biasa (PK) bisa saja tersedia,” ujarnya, Selasa (7/2) lalu.
Ia menganalogikan ketentuan PK dalam KUHAP hanya milik terpidana dan keluarganya. Karena itu, putusan kasasi bagi jaksa merupakan putusan terakhir. Namun praktiknya, jaksa masih dapat mengajukan upaya hukum PK. Nah, yurisprudensi putusan MA praktiknya memang terkadang berbeda dengan pembentuk UU. “Atau MA memaknai putusan pertama dan terakhir dalam konteks upaya hukum biasa (kasasi), yakni tidak menutup upaya hukum luar biasa,” kata dia.
Anggota Komisi III DPR itu menilai SEMA No. 4 Tahun 2016 terkait dengan rumusan kamar perdata khusus parpol ini bukanlah norma baru. Ia memaknai norma tersebut masih dibukanya peluang upaya hukum luar biasa.
“Jadi memang tidak ada hal baru, karena dari praktik hukum kita yang diakui MA sudah seperti itu. Iya harus dimaknai begitu (masih membuka peluang upaya hukum luar biasa,-red), dan itu yang harus menjadi yurisprudensi,” harapnya.
Berdampak positif
Sementara itu, Firman Subagyo, Sekretaris Dewan Pakar Partai Golkar, berpandangan rumusan kamar perdata khusus terkait parpol dipandang sebagai terobosan yang positif.
Menurutnya, partai politik merupakan pilar demokrasi yang mesti dijaga, bukan dirusak oleh sistem hukum dalam rangka mencari keadilan.
Menurutnya, dampak bersengketa parpol di pengadilan yakni berdampak pula terhadap parlemen. Sebab, anggota dewan merupakan kepanjangan tangan dari partai. Dengan bersengketanya partai ke pengadilan mengakibatkan terbengkalainya tugas-tugas parlemen terhadap fungsi anggaran, pengawasan dan legislasi. “Akhirnya negara menjadi rusak,” katanya.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR itu berpendapat, rumusan kamar perdata khusus dalam SEMA 4 Tahun 2016 terkait partai politik menjadi angin segar sebagai jawaban dan jalan keluar atas berlarut-larutnya proses penanganan sengketa kepengurusan partai di pengadilan. Sebab, tak hanya di PN, bahkan di PTUN pun proses persidangan amatlah menyita waktu dan tenaga sebagian anggota partai yang juga wakil rakyat.
“Keputusan MA ini positif supaya tidak berlarut-larut seperti PPP sekarang. Dampak berlarut-larut fraksi partai di parlemen akan terbelah. Saya rasa ini terobosan bagus, dan menunjukan MA untuk tidak mau melihat terus-menerus bahwa negeri ini kacau gara-gara berlarut-larutnya proses peradilan,” tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar